Dialog Politik – Sudah lengser pun masih menyisakan masalah. Mungkin ini cocok untuk disematkan kepada Anies.
Gubernur DKI Jakarta digugat membayar ganti rugi sebesar Rp 27,9 miliar terkait dengan Keputusan Nomor 979 Tahun 2022 tentang lokasi Penataan Kampung dan Masyarakat Tahap II tertanggal 11 Oktober 2022.
Keputusan yang digugat itu dikeluarkan saat Anies masih menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Gugatan tersebut dilayangkan 24 warga ke PTUN Jakarta.
Terdapat sejumlah tuntutan yang tercantum dalam gugatan tersebut.
Pertama, PTUN Jakarta diminta mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya.
Poin kedua, meminta PTUN Jakarta membatalkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 979 Tahun 2022 tentang lokasi Penataan Kampung dan Masyarakat Tahap II tertanggal 11 Oktober 2022.
Ketiga, memerintahkan kepada Gubernur DKI Jakarta mencabut keputusan a quo dan menerbitkan keputusan baru terkait lokasi penataan kampung dan masyarakat tahap II.
Jadi tuntutan para penggugat adalah meminta tergugat untuk ganti rugi akibat penggusuran paksa, membangu kembali tempat tinggal mereka sesuai luas sebelumnya, dan mendesak hukuman kepada tergugat untuk bayar ganti rugi sebesar Rp 27 miliar.
Saya tidak tahu warga mana yang menggugat dan penggusuran mana yang dilakukan oleh Pemprov DKI era Anies.
Tapi saya hanya bisa mengelus dada dan prihatin (btw, saya pinjam kata ini tanpa meminta izin apalagi membayar royalti hak cipta kepada mantan presiden prihatin).
Tuntutannya terlalu besar sampai Rp 27 miliar. Saya tidak yakin akan menang gugatan. Beda dengan hukuman mengeruk Kali Mampang yang pernah dijatuhkan PTUN kepada Anies.
Dalam kasus ini, lebih baik jangan salahkan Anies. Yang salah adalah warga yang tidak paham dengan visi misi Anies yang brilian. Anies tidak menggusur tapi hanya menggeser. Jadi tuntutan tersebut kayaknya tidak nyambung. Anies menggeser, dari katanya saja sudah beda dengan menggusur. Menggeser itu lebih manusiawi ketimbang menggusur.
Lagian Anies juga pernah bilang tidak akan menggusur. Memang Anies tidak pernah menggusur, karena yang menggusur biasanya adalah Satpol PP. Bukan salah Anies. Kalau mau salahkan, silakan salahkan Satpol PP atau pihak yang telah menggusur.
Lagian, siapa pun sudah tahu kalau Anies itu terkenal cuap-cuap tapi tidak bekerja. Dia ngaku kerja senyap. Benar kok, kerja senyap makanya tidak nampak hasil kerjanya. Anies tidak kerja, tidak ngapa-ngapain, ngapain disalahkan. Yang gusur juga bukan dia.
Sudah nyesel belum? Sudah kapok belum dijejali janji manis? Sudah sadar belum selama ini dipuji setinggi langit, mau diperjuangkan, mau disejahterakan, mau dijadikan objek keberpihakan, nyatanya zonk semua. Kena tipu, kena ngibul, dibohongi dan dibodohi sampai separah-parahnya. Situ baru sadar sekarang?
Pendukung Anies juga sama saja, sangat menjijikkan tingkahnya. Era sebelum Anies, gubernurnya disebut brutal dan biadab karena menggusur paksa. Era Anies, pendukungnya ngeles itu tandanya Anies bekerja, tidak diam dan cuma ngadem di Balai Kota. Standar ganda bau busuk.
Jelas sekali track record Anies sangat jelek, tapi masih saja dicoblos waktu Pilkada DKI 2017 demi euforia agama dan janji surga. Sekarang apa yang mereka dapat? Maju kotanya bahagia warganya, atau malah amburadul kotanya, sengsara warganya?
Makan aja tuh janji manis dari Anies. Kadang kalau dipikir-pikir, agak kesel, kan? Ya mau gimana lagi, demi agama, logika dilenyapkan. Dulu makan janji surga, sekarang hidup kayak di neraka. Sengsara tak tahu mau mengadu ke mana.
Hanya Anies yang suka pamer-pamer keluyuran di luar negeri, jadi anggota dewan di Oxford lah, jadi pembicara di Singapura lah, jadi tamu undangan di acara sampingan G-20 lah, pamer jagi bahasa Inggris lah. Sedangkan rumah DP nol rupiah, dia diam. Banjir parah, dia diam. Ditanya soal normalisasi sungai, dia kabur. Di tanya soal sumur resapan, dia cuma senyum kayak model iklan pasta gigi. Apalagi ditanya soal Formula E dan kasus dugaan bansos baru-baru ini, dia pasti lari terbirit-birit.